Selasa, 07 Desember 2010

HARTA (AMWAL)

By: Ima Khazanah

PENDAHULUAN
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya, baik yang bersifat materi atau immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antarmanusia (mu’amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan dan terkait dengan manusia lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai objek transaksi, harta bisa dijadikan objek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership (kontrak kerja sama), atau transaksi ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat dari karakteristik dasarnya (nature), harta juga bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, kecuali terdapat faktor yang menghalanginya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang harta, meliputi definisi, fungsi, kedudukan, dan pembagian harta.
RUMUSAN MAKALAH
a. Pengertian harta
b. Kedudukan harta
c. Fungsi harta
d. Pembagian harta
PEMBAHASAN
A. Pengertian harta
Menurut Wahbah Zuhaili, secara linguistik, al-mal atau harta didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi’il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti: komputer, kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Ataupun berupa manfa’at, seperti: kendaraaan, pakaian, ataupun tempat tinggal.
Dalam bahasa Arab disebut al-mal yang berarti condong, cenderung, dan miring. Manusia lebih cenderung ingin memiliki dan menguasai harta.
Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua pendapat :
1. Menurut ulama’ Hanafiyah, harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfa’atkan.
Menurut defnisi ini, harta memiliki dua unsur:
a. Harta dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.
b. Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan
Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta, atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum,setetes air, segenggam tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan hal lain.

2. Pendapat Jumhur Ulama Fiqih selain Hanafiyah
Harta adalah segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya. Dalam artian segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya berkewajiban untuk menanggung atau menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafi’i mengatakan, al-mal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan dapat diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi seseorang yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-mal haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan moneter.
Pengertian ini merupakan pengertian umum yang dipakai dalam undang-undang modern.Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Pendapat ini lebih umum digunakan oleh kebanyakan manusia.
Manfaat yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak, seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan.
Ulama’ Hanafiyah sebagaimana memandang manfaat, berpendapat bahwa hak yang dikaitkan dengan harta pun tidak dikatakan harta sebab tidak mungkin menyimpan dan memelihara zatnya. Selain itu, kalaupun hak milikdan manfaat bisa didapatkan, halitu tidak akan lama sebab sifatnya abstrak(maknawi) dan akan hilang sedikit demi sedikit.
Ulama’ selain Hanafiyah berpendapat bahwa hak milik dan manfaat dapat dipandang sebagai harta sebab dapat dikuasai dengan menguasai pokoknya. Selain itu, kemanfaatan adalah maksud dari harta. Jika tidakmemiliki manfaat,manusia tidak mungkin mencari dan mencintai harta.
Perbedaan pendapat diatas berdampak pada perbedaan dalam menetapkan beberapa ketetapan yang berkaitan gengan hukum terutama dalam hal gasab, persewaan dan waris. Dalam persewaan menurut ulama’ Hanafiyah, persewaan berakhir dengan meninggalnya penyewa sebab manfaat bukanlah harta sehingga tidak dapat diwariskan. Menurut ulama’ selain Hanafiyah, persewaan tidak habis dengan meninggalnya penyewa dan dapat ditangguhkan sampai habisnya waktu penyewaan.

B. Kedudukan Harta

Disebutkan harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan didunia ini, sehingga oleh para ulama’ ushul fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah satu ad-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas ; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Atas dasar itu, mempertahankan harta dari segala upaya yang dilakukan orang lain dengan cara yang tidak sah, termasuk kedalam kelompok yang mendasar dalam islam.
Sehingga dalam Al-Quran dan Hadist, cukup banyak ayat dan hadist yang membicarakan harta, serta anjuran untuk berusaha dan memilikinya.
a) Kedudukan harta dalam Al-Qur’an dan sunnah
a) Dalam Al-Qur’an
1) Harta sebagai fitnah seperti di dalam QS. At-Thobun ayat 15
2) Harta sebagai perhiasan hidup, seperti dalam surat al-kahfi ayat 46.
3) Harta untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kesenangan, sepert dalam surat al-Imran ayat 41.
b) Dalam as-Sunnah
1). Kecelakaan bagi penghamba pada harta.
2). Penghambat harta adalah orang terkutuk.
b) Anjuran untuk memiliki harta dan giat berusaha
Ada beberapa dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadis yang dapat dikategorikan sebagai isyarat bagi umat Islamuntuk memiliki kekayaan dan giat dalam berusaha supaya memperoleh kehidupan yang layak dan mampu melaksanakan semua rukun Islam yang hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mempunyai harta atau kemampuan darisegi ekonomi. Sementara itu, harta kekayaan tidak mungkin datang sendiri, tetapi hartadicapai melalui usaha. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut.
a. Para Nabi berusaha sendiri untuk bekal hidup
Alloh SWT, menyatakan bahwa para nabi berusaha sendiri tidak menggantungkan kepadaorang lain. Seperti nabi Daud a.s yang diceritakan dalam al Quran:

Artinya;
“dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari kami.(kami firman), “Hai gunung-gunung dari burung-burung bertasbih berulang-ulang bersama Daud. “dan kami telah melunakkanbesi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yangbesar-besardan ukurlah anyamannya, dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apayang kamu kerjakan. (QS. Saba’: 10-11)
Dalam al-Quran pun disinggung pulaperihal Nabi Nuh a.s membuat kapal (QS. Hud: 37,38) dan nabi Musa a.s mengembalakan domba selama 20 tahun sebelum diutus menjadi rosul di negeri Madyan. Kita juga mengetahui dari sejarah bahwa nabi Muhammad Saw. Daari kecil sudah mengembalakan domba, kemudian berniaga utuk Siti Khodijah. Padahal mereka adalah para nabi yang suci, bergelar ulul azmi, tetapi mereka berusaha sendiri untuk memenuhi kehidupannya.
b. Anjuran memanfaatkaan dan memakan rizki Allah SWT


Artinya:
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,maka berjalanlah disegala penjuru dan makanlah sebagian rizki-Nya”.
c. Rosulullah SAW. Menyuruh umatnya untuk bekerja

Artinya:
“Seseorang yang mengambil tali untuk mengikat kayu bakar, kemudian memanggul dipundaknyauntuk dijual kepada manusia, sehingga Allah mencukupinya adalah lebih baik dari pada meminta-minta kepada manusia, yang kemungkinan akan memberinya atau menolaknya.

c). Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun buruk. Oleh kaena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang memproleh harta dengan cara mencuri, ia mengfungsikan harta tersebut untuk kesenangan semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi dll. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya mengfusikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yangsesuai dengan ketentuan syara’, antara lain untuk:
1. Kesempurnaan ibadah mahzhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran
3. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (Qs.An-Nisa’:9)
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu
6. Keharmonnisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin

d.) Pembagian Harta
Para ulama’ fiqh membagi harta, dilihat dari berbagai segi:
1. Dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta dibagi menjadi mutaqawwim dan ghoiru mutaqawwim. Yang dimaksud dengan mutaqawwim ini, menurut pengertian pakar fiqh adalah sesuatu yang boleh dimanfaatkan menurut syara’. Sedangkan ghoiru mutaqawwim adalah sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan menurut ketentuan syara’. Seperti babi dan khomar.
Perbedaan kedua bentuk harta ini membawa akibat kepada: (a) ketidakbolehan umat islam menjadikan harta yangtidak halal itu (seperti bangkai, babi, khomar, dan darah) sebagai obyek transaksi;dan (b) bebasnya umat islam dari tuntutan ganti rugi bila mereka merusak atau melenyapkan harta yang tidak halal dimanfaatkan umat islam itu.
2. Dilihat dari segi jenisnya, harta terbagi atas harta tidak bergerak dan harta bergerak. Contoh harta tidak bergerak adalah tanah, dan rumah sedangkan harta bergerak misalnya barang dagangan (buah-buahan ,bolpen, buku dan pakaian). Akibat hukum dari perbedaan harta dari segi jenisnya ini menurut paraa ulama’ fiqh adalah: (a) berlakunya hak syuf’ah (hak istimewa yang dimilki seseorang terhadap rumah tetangganya yang akan dijual, agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan kepadanya) dalam harta tidak bergerak; (b) yang boleh diwakafkan, menurut ulama’ Hanafiah, hanya benda tidak bergerak atau benda bergerak yangsudah dipisahkan dari benda tidak bergerak. Akan tetapi, jumhur ulama’ berpendirian bahwa kedua jenis harta ini boleh diwakafkan.
3. Dilihat dari segi pemanfaatannya, harta terbagi atas harta al-isti’mali dan harta al-istihlaki. Yang dimaksud dengan harta al-isti’mali adalah harta yang apabila digunakan atau dimanfaatkan benda itu tetap utuh, sekalipun manfaatnya sudah banyak digunakan. Sedangkan harta al-istihlaki adalah harta yang apabila dimanfaatkan berakibat kepada menghabiskan harta itu. Contoh harta al-isti’mali dalah lahan pertanian, rumah,dan buku, sedangkan harta al-istihlaki, misalnya, sabun, pakaian, dan makanan.
4. Dilihat dari segi ada atau tidaknya harta sejenis di pasaran, para ulama fiqh membaginyan kepada harta yang bersifat al-mitsli (harta yang ada jenisnya di pasaran,yaitu harta yang ditimbang atau ditakar seperti gandum, beras, kapas, dan besi), dan harta yang bersifat al-qimi (yang tidak ada jenis yang sama dalam satuannya di pasaran atau ada jenisnya,tetapi setiap unitnya berbeda dalam kualitasnya,seperti satuan pepohonan,logam mulia dan alat-alat rumah tangga )
5. Dilihatdari setatus harta,para ulama’fiqih membaginya kepada al-mal al-mamluk,al-mal al-mubahdan al-malal-mahjur.
6. Harta dilihat dari segi boleh dibagi atau tidak.
7. Dilihat dari segi berkembang atau tidaknya harta itu,baik hasilnya itu melalui upaya manusia maupun dengan sendirinya berdasarkan ciptaan Allah Swt.
8. Pembagian lain yang dikemukaan para ulama’ feqih dari harta adalah dari segi pemilihnya.


KESIMPULAN
Harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik berupa benda yang tampak seperti mas perak maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti pakaian,tempat tinggal. Sehingga persoalan harta dimasukkan kedalam salah satu lima keperluan pokok yang diatur oleh Al-Qur’an dan as-sunah. Adapun fungsi harta diantaranya kesempurnaan ibadah mahdzah,memelihara dan meningkatkan keimanan dan serta menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan pembagian harta di bagi menjadi delapan bagian.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat. Semoga dapat bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan bagi pembaca umumnya. Dan pastinya makalah ini terdapat kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Djuawaini,Din zaudin.pengantar fiqih muammalah.Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2008
Haruen,Nasrun,feqih muamalah,Jakarta: Gaya Media Pratama .2007
Sya’I,Rahmat. Feqih muamalah. Bandung: Pustaka Setia.2001

HAK ATAS HARTA

By: Abdul Latief
I. PENDAHULUAN
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan mencul hak dan kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang(uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam hal ini kami akan mencoba untuk membahas sesuatu yang terkait dengan hak.
II. PERMASALAHAN
A. Asal-Usul Hak?
B. Pengertian hak?
C. Rukun-Rukun Hak?
D. Macam-Macam Hak?
E. Sumber-Sumber Hak?
F. Akibat Hukum Suatu Hak?
III. PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Hal
setiap manusia hidup bermasyarakat, saling tolong-menolang dalam menhadapi berbagai macam persoalan untuk menutupi kebutuhan antara yang satu dengan yang lain. Ketergantungan seseorang kepada yang lain dirasakan ada ketika manusia itu lahir. Setelah dewasa, manusia tidak ada yang serba bisa. Seseorang hanya ahli dalam bidang tertentu saja, seperti seorang petani mampu menanam ketela pohon dan padi dengan baik, tetapi dia tidak mampu membuat cangkul. Jadi, petani mempunyai ketergantungan kepada seorang ahli pandai besi yang pandai membuat cangkul, juga sebaliknya.
Setiap manusia mempunyai kebutuhan sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan masing-masing, perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar manusia itu tidak melanggar dan memperkosa hak-hak orang lain. Maka, timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia
B. Pengertian Hak
Kata hak berasal dari bahasa arab ”haqq” yang memiliki beberapa makna. Diantaranya, hak bermakna ”ketetapan” atau ”kepastian” sedangkan secara istilah, menurut wahbah al-Zuhaili, pakar kontemporer dari syiria, definisi yang komprehensif seperti yang telah dikemukakan ibn Nujaim dan mustafa ahmad az-Zarqa’ adalah ” suatu kekhususan yang terlindungi ”
Sedangkan secara terminologi hak mempunyai beberapa pengertian hak adalah himpunan kaidah dan nash-nash syari’at yang harus dipatuhi untuk menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan perorangan maupun yang berkaitan dengan harta benda . Lalu menurut pengertian umum, hak ialah sesuatu yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum dan ada juga yang mendefinisikan hak sebagai berikut hak adalah kekuasaan mengenai sesuatu yang wajib dari seseorang kepada orang lain dalam bukunya dimyauddin djuwaini hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadikan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara’. Dengan demikian, sumber hak adalah allah swt, karena tiada hakim selain dia, tiada dzat yang berhak untuk mensyariatkan sesuatu selain allah. Tiada syariat yang dijalankann manusia kecuali syariatnya. Untuk itu manusia memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain, tiada kewenangan untuk merusak atau menginjak-injak hak orang lain. Disamping itu pemilik hak harus mengunakan haknya secara proposional sehingga tidak menimbulkan kemadlaratan bagi orang lain.
C. Rukun-Rukun Hak
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa rukun hak itu ada dua, yaitu pemilik hak (orang yang berhak) dan objek hak, baik sesuatu yang bersifat materi maupun hutang. Yang menjadi pemilik hak, dalam pandangan syari’at islam adalah Allah SWT, baik yang menyangkut hak-hak keagamaan, hak-hak pribadi, atau hak-hak secara umum, seperti perserikatan dan yayasan.
D. Macam-Macam Hak
Dalam buku pengantar fiqh muamalah yang ditulis oleh dimyauddin djuwaini membagi hak-hak diantaranya:
a. Hak allah
Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada allah, menyembah dan mengabdi kepada-nya, menegakkan syari’at agama-nya, seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam, dari sholat, puasa ,haji, zakat, amar ma’ruf nahi munkar, dan ibadah lain yang sejenis. Atau lahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat publik yang tidak dikhususkan pada individu tertentu, seperti penegakan hukum potong tangan bagi para pencuri, atau pelaku tinndak criminal lainnya.
b. Hak anak adam
Adalah hak-hak yang di maksudkan untuk menjaga kemaslahatan seseorang, bisa bersifat umum,seperti menjaga kesehatan,merawat anak,harta benda, mewujudkan rasa aman mencegah tindak kriminal, menghilangkan permusuhan dan lainnya. Atau bersifat khusus, seperti menjaga kepemilikan hak penjual atas harta dan hak pembeli atas objek transaksi, hak ganti rugi seseorang atas hartanya yang dirusak, hak seorang istri atas nafkah suami dan lainnya. Hak anak adam bisa dilepaskan atau digugurkan dengan alasantertentu, bisa juga diwariskan.
c. Hak finansial
Adalah yang terkait dengan harta dan kemanfaatannya, hak yang oyeknya berupa harta atau manfaat. Seperti hak seorang penjual atas harga barang (uang), hak pembeli atas objek transaksi(rumah, mobil), hak syuf’ah, hak khiyar, hak penyewa untuk menempati rumah, dan lainnya
Adapun hak nonfinansial adalah hak yang terkait dengan sesuatu selain harta, seperti hak qishos, hak untuk hidup bebas, hak wanita untuk talak karena tidak diberi nafkah, hak sosial atau politik dan lainnya.
d. Hak syakhshi dan hak aini
Hak syakhshi adalah hak yang ditetapkan oleh syara’ untuk kepentingan seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi (rumah), hak seorang ats hutang, kompensasi finansialatas barang yang di-ghasob atau dirusak, hak seorang istri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi,
Sedangkan hak aini adalah kewenangan yang ditetapkan oleh syara’ untuk seseorang atas suatu benda seperti hak milik. Seseoarng pemilik benda memiliki kewenangan secara langsung atas harta yang dimilikinya. Yang memiliki kewenangan untuk memanfaatkan barang nya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lainnya memanfaatkannya tanpa seizin pemiliknya
Macam-macam hak aini ialah sebagai berikut:
• Hak al-milkiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia memiliki, mengunakan, mengambil manfaat, menghabiskan, merusaknya, dan membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
• Haq al-intifa’ ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan di usahakan hasilnya. Hak al-isti’mal (menggunakan) terpisah dari hak istighal (mencari hasil).
• Hak al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang di letakan untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang di miliiki bukan oleh pemilik kebun pertama. Misalnya saudra latief memiliki sawah di sebelah sawah saudara ghofar. Air dari selokan di alirkan ke sawah saudara latief. Sawah tuan ghofar pun membutuhkan air. Air dari sawah saudara latief di alirkan ke sawah tuan ghofar dan air tersebut bukan milik saudara latief.
• Hak al-istihan ialah hak yang di peroleh dari harta yang digadaikan.
• Hak al-ihtibas ialah hak menahan suatu benda.
• Hak qarar (mentap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetap atas tanah wakaf ialah:
- Hak al-hakr ialah hak menetap di atas tanah wakaf yang di sewa untuk yang lama dengan seizin hakim.
- Hak al-ijaratain ialah hak yang di peroleh karena ada akad ijarah dalam waktu yang lama, dengan seijin hakim, tatas tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula misalnya karena kebakaran dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya di bayar setiap tahun.
- Hak al-qadar ialah hak menambah bangunan yang di lakukan oleh penyewa.
- Hak al-murshad ialah hak mengawasi atau mengontrol.
• Hak al-murur ialah hak manusia untuk menmpatkan bangunanya diatas bangunan orang lain.
• Hak al-jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdenpetnya batas-batas tempat tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik uqar dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya.
• Hak syafah atau hak syurb ialah kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum sendiri dan untuk diminum binatangnya serta untuk kebutuhan rumah tangganya.
e. Hak diyani hak qadlani
Hak diyani adalah hak-hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diinterfensi oleh kekuasaan negara atau kehakiman. Misalnya dalam hal utang atasu transaksi lainya yang tidak dapat dibuktikan didepan pengadilan. Sekalipunn demikian dihadapan allah tanggung jawab orang berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.
Sedangkan hak qodlai adalah seluruh hak yang tunduk dibawah aturankekuasaan kehakiman sepanjang pemilik hak tersebut mampu menuntut dan membuktikan haknya didepan pengadilan.
f. Hak hidup
Setiap individu berhak menjaga dirinya, memelihara eksistensinya, maka seseorang tidak boleh diganggu, kecuali jika ia membunuh atau membuat diatas bumi sampai pada tingkat ia wajib dibunuh, Allah berfirman
                   ••      •• ……..
“……. oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”
(QS: Al- maidah: 32)
g. Hah menjaga harta
Sebagaimana jiwa terpelihara, maka harta pun demikian juga, tidak dibenarkan mengambil harta dengan cara apapun kecuali dengan cara yang disyariatkan. Allah berfirman:
              
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….”( QS: An-Nisaa’:29)
h. Hak harga diri
Tidak dibenarkan menginjak harga diri orang lain sekalipun itu dalam bentuk kalimat singkat, Allah berfirman:
   
“kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela”(QS: Al-humazah:1)
i. Hak kemerdekaan
Tidak terbatas kepada hanya menjaga jiwa, harta dan hara diri saja, bahkan islam mengakui kebebasan beribadat, kebebasan berpikir, kebebasan memilih pekerjaan dan kebebasan mengambil faedah dari semua lembaga-lembaga Negara.
Islam mewajibkan kepada Negara untuk memelihara seluruh hak ini. Hak-hak manusia tidak sampai disini saja, tetapi ada pula hak-hak lain, diantaranya
 Hak tempat tinggal
Manusia berkebebasan menentukan dimana ia tinggal, berlindung dan kemana ia pergi tanpa ada penghalang atau aral yang merintanginya.sama sekali tidak dibenarkan mengisolasi siapapun atau menjauhkannya kecuali jika orang itu merampas hak orang lain dan undang-undang memandang perlu memberi sanksi dengan jalan mengusirnya atau menangkapnya.
 Hak belajar dan berpendapat
Adalah hak setiap individu untuk memperoleh pendidikan agar akalnya menjadi terang dan keberadaan serta hidupnya meningkat. Demikian juga ia berhak mengeluarkan pendapat dan argumentasinya.
E. Sumber-Sumber Hak
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariat dan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligu merupakan sumber utama iltizam sedangkan hukum yang lain adalah sebagai berikut:
a. Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al aqidain) untuk melakukan sesuatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jaul beli, sewa menyewa dan lainnya.
b. Iradah al-munfaridah (kehendak sepihak) seperti seseorang yang mengucapkan sebuah janji atas nadzar
c. Al fi’lun nafi (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seorang melihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan tau pertolongan, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya.
d. Al-fi’lu adl-dlarr (perbuatan yang merugikan), seperti ketika seorang merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia trebebani iltizam tau kewajiban tertentu.
Para ulama fiqh sepakat menatakan bahwa sumber atau penyebab adanya hak itu adalah syara’, syara’lah yang menjadi sumber asli segala hak dan syara’lah yang menyebabkan seseorang memiliki hak. Namun demikian, adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara langsung tanpa adanya sebab, seperti perintah untuk melaksanakan berbagai ibadah, perintah untuk memberikan nafkah kepada kerabat, larangan untuk melakukan berbagai bentuk tindak pidana, larangan untuk mengkonsumsi yang diharamkan syara’, ditetapkan syara’ secara langsung tanpa adanya latar belakang yang menyebabkan timbulnya hak itu. Dan adakalanya syara’ juga menetapkan hak melalui suatu sebab.
F. Akibat Hukum Suatu Hak
Pada prinsipnya, islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setiap pemilik hak boleh menuntut haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau pengrusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan haknya. Kebebasan mengunakan hak, selain dibatasi dengan, tidak bertentangan dengan syariat islam juga dibatasi dengan tidak melanggar hak atau merugikan kepentingan orang lain. Prinsip perlindungan hak dalam islam berlaku pada dan untuk semua orang. Sehingga perlindungan kebebasan dalam penggunaan hak orang lain, terutama perlindungan hak masyarakat umum.
Jika dalam menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak orang lain atau masyarakat umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang. Penggunaan hak secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain atau masyarakat umum, dalam hukum islam disebut ta’assuf fi isti’malil haqq
Diantara jenis perbuatan yang tergolong dalam ta’assuf fi isti’malil haqq adalah sebagai berikut:
a. Apabila seseorang mempergunakan haknya mengakibatkan pelanggaran terhadap orang lain atau menimbulkan kerugian terhadap kepentingan orang lain.
b. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang tidak disyariatkan dan tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak tersebut
c. Apabila seseorang menggunakan haknya untuk kemaslahatan pribadinya, tetapi mengakibatkan madlarat yang lebih besar terhadap orang lain. Atau lemaslahatan yang ditimbulkan sebanding dengan madlarat yang ditimbulkannya, baik terhadap kepentingan pribadi orang lain, lebih-lebih terjadap kepentingan publik.
d. Apabila seseorang menggunakan haknya tidak sesuai pada tempatnya atau bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku serta menimbulkan madlarat terhadap pihak lain.
e. Apabila seseorang menggunakan haknya secara ceroboh(tidak hati-hati) sehingga mengakibatkan madlarta terhadap pihak lain.

IV. KESIMPULAN
Pada prinsipnya kebebasan dalam islam tidaklah bersifat mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab yakni kebebasan menggunakan hak yang disertai sikap tanggung jawab atas terpeliharanya hak dan kepentingan orang lain. Pelaksanaan kebebasan secara mutlak menimbulkan konsekuensi kebebasan melanggar hak dan kepentingan orang lain karena hal ini hanya akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antarasesama manusia. Oleh karena itu, penggunaan hak sama sekali tidak boleh melanggar hak atau kepentingan oarang lain.

V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Djuwani Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2008).
Mas’adi, Ghufron A, Fiqh Kontekstual, (jakarta; PT Grafindo Persada, 2002).
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Sabiq, Sayyid, FIKIH SUNNAH , (Bandung: PT Al- Ma’arif, 1993).
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008).
Ash siddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang; Pustaka Rizki Putra. 1997).

MASUKNYA ISLAM DI JAWA DAN PENGARUHNYA

by: Abdul majid El_Andalusy


I. PENDAHULUAN
Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.
Sampai pada abad 1 H atau 7 M, Islam mulai dibawa para pedagang Arab melalui pesisir utara Sumatera secara damai dengan membawa kecerdasan dan ketinggian peradaban. Pada perkembangannya orang-orang pribumi ikut andil dalam penyebaran islam di Nusantara.
Masuknya islam kedaerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 M. Kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai kemalaka dan kedah. Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan malaka untuk melepaskan diri dari sriwijaya hingga beberapa abad kemudian islam masuk keberbagai wilayah Nusantara dan pada abad ke-11 islam sudah masuk di pulau jawa.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Awal Datangnya Islam Di Jawa.
B. Teori Masuknya Islam Di Jawa
C. Bukti Pertama Islam Di Jawa.
D. Tokoh-Tokoh Pembawa Islam Di Jawa.
E. Saluran Islam Di Jawa.
F. Peran Walisongo Dalam Penyebaran Dan Perkembangan Islam Di Pulau Jawa.

III. PEMBAHASAN
A. Awal Datangnya Islam Di Jawa.
Kebanyakan pedagang muslim di kerala yang berasal dari teluk Persia mereka menganut madzhab Syafi’i. Sedang Kerala sendiri berfungsi sebagai persinggahan para pedagang Sumatera, melayu, dan cina. Kekuatan hubungan dagang dan hukum ini menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber islamisasi di Jawa dan bagian Indonesia. Kesamaan arsitektur masjid kian memperkokoh posisi. di Kerala banyak masjid yang terbuat dari kayu dan bata merah mempunyai atap bersusun tiga. Masjid Agung Demak sebagai masjid tertua di Jawa memiliki pola ini. Organisasi keagamaan masyarakat Kerala dan santri Jawa tradisional sangat mirip yaitu berorientasi pada ulama. Keadaan ini terjadi sekutar abad ke-13, yaitu ketika kota baghdad hancur digempur oleh pasukan Tartar dan Mongol, jalan lintas perdagangan antar Barat dan Timur beralih ke Gujarat. Demikian juga kapal dagang masyarakat Indonesia berduyun-duyun berlabuh di kota Gujarat. Dengan hubungan dagang ini banyak masyarakat kecil masuk agama islam seperti para anak kapal (juragan dan kelasinya). Pemusatannya di daerah pelabuhan seperti jepara, tuban serta gresik yang sejak prabu erlangga bertahta (1019-1041M). Telah dibuka hubungan dagang dengan bangsa asing.
Melihat makam-makam muslim yang ada di Gresik yaitu makam wanita muslim Fatimah binti Maimun, nisan yang berangka tahun 475 H. (1082 M) serta makam ulama persia Malik Ibrahim, nisan yang berangka tahun 882 H. (1419 M) menjadi tanda bukti bahwa waktu itu rakyat jelata Gresik banyak menganut agama islam. Jadi pada waktu zaman Prabu Kertawijaya (1447 M) para bangsawan dan punggawa telah ada yang menganut agama islam. Ini dikarenakan berita tentang kejayaan agama islam di wilayah timur, di Persia, Afganistan, Pakistan di India sungai gangga sampai Benggala. Ditanah Aceh dan Malaka dapat tersebar dengan cepat di Kota pelabuhan Jawa. Keadaan yang demikian merupakan sumbangan moral dan kebanggaan dalam hati rakyat Majapahit yang sedang rapuh karena gila jabatan. Apalagi islam progresif terhadap agama hindu saat itu.
B. Teori Masuknya Islam Di Jawa
a) Teori Gujarat
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Teori bahwa islam datang di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. berdasarkan terjemahan prancis tentang catatan perjalanan Suleiman, Marco Polo dan Ibnu Batuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teori ini dengan menyatakan bahwa melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India digunakan dalam bahasa masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan dan dipopulerkan Snouck Hurgronje yang menunjuk Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam di Nusantara, kemudian Marrison yang menyebut Kromondel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Teori tentang islam di bawa oleh para pedagang dari India (meskipun sudah ”terkontaminasi” dengan Arab) bisa dimaklumi mengingat India sudah mengenal Jawa sejak dahulu jauh sebelum abad ke-15 ketika keislaman mulai mendapatkan bentuk dikawasan ini. Itupun hanya didasarkan pada asumsi yang masih spekulatif. Sebab jika India yang diadikan pegangan dengan mengambil dasar praktis sufisme yang berlaku di Nusantara, maka di sini perlu ditandai bahwa sufisme tidak menjadi ”merk dagang” para perdagang India saja, melainkan sudah menjadi ajaran universal yang dipraktikan kaum Mislimin di berbagai belahan dunia Islam. Selain tidak ada bukti-bukti pendukung berupa kebudayaan material yang bisa memperkuat argumentasi ini. Kalaupun ada unsur India dalam kontruksi bangunan masjid kuno di Jawa, itu pun India yang Hindu bukan islam.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
b) Teori Mekkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori ini di kemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), de Hollander (1861) dan Verth (1878).
Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
• Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
• Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Teori yang menyatakan bahwa islam dibawa dari Arab-Handramaut juga tidak luput dari kelemahan. Van den Berg yang pernah meniliti teori ini menyatakan bahwa, orang Arab Handramaut mulai datang ke nusantara pada tahun-tahun terajhir abad ke-18, meskipun mereka datang lebih awal di pantai Malabar. Kedatangan orang-orang Arab Handramaut ke Nusantara itu pun tidak langsung ke Jawa tetapi di Aceh, kemudian Palembang dan Pontianak. Orang-orang Arab ini mulai menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahu 1870. sebelum tahun 1859.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri..
c) Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
• Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
• Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
• Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.
• Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
d) Teori Cina
Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).
Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas. Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia.
Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan berbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak --terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.
Padahal dari berbagai sumber yang berserakan ditambah kesaksian-kesaksian awal para pengembara asing dan tradisi lisan yang berkembang secara turun temurun di masyarakat berbasis Islam serta di dukung fakta adanya Sino-Javanese Muslim Culture sebenarnya masyarakat Cina Islam telah menunjukkan eksistensinya jauh sebelum VOC pada awal abad ke-17 menguasai Jawa. Mereka pada umumnya mula-mula menduduki kawasan pesisir utara di kota-kota pelabuhan di Jawa. Ini sesuai dengan teori Johns (1975) yang menyatakan bahwa perkembangan Islam di Jawa bermula dari kota-kota pelabuhan. Komunitas Cina Islam in sambil berdagang kemudian mengembangkan praktek “sufisme kota” (urban sufism) yang rasionalistik dalam kehidupan beragama. Salah satu bentuk tasawuf falsafi. Ajakan sufisme dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam banyak hal memang cocok dengan latar belakang masyarakat Jawa yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal. Dari kota-kota pelabuhan inilah, Islam kemudian melaju dan terus melaju ke berbagai wilayah Jawa di bawah otoritas politik kekuasaan sultan dan kharisma tradisional kiai (ulama)
Atas dasar rekonstruksi kesejarahan di atas, bukanlah sebuah “pemaksaan ide” jika dikatakan bahwa komunitas Cina telah ikut andil bagian dalam proses sejarah Islamisasi di Jawa. Dengan demikian patut untuk diajukan “teori cina” dalam sejarah masuk dan berkembangnya agama islam ke jawa. Ini bukanlah “rekonstruksi baku” karena memang sejarah tidak bisa “dibakukan” meski dapat “dibukukan”
C. Bukti Pertama Islam Di Jawa.
Masuknya islam di Jawa dapat diketahui dengan beberapa bukti dalam bentuk artefak yaitu :
1. Makam
Bukti sejarah yang paling faktual adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran Gresik, dan batu nisan itu merupakan bukti yang konkret bagi kedatangan islam di Jawa.
Sementara Ricklefts dalam uraiannya mengatakan bahwa serangkaian batu nisan yang sangat penting yang ditemukan di kuburan jawa Timur yaitu di Trowulan dan Troloyo, di dekat situs istana Majapahit yang bersifat hindu budha. Batu-batu itu menunjukan makam-makam orang muslim, tetapi lebih banyak menggunakan angka tahun saka India dengan angka-angka jawa kuno daripada tahun Hijriyah Islam dengan angka-angka arab. Berdasarkan rumitnya hiasan yang terdapat pada beberapa batu nisan dan lokasinya yang dekat dengan situs ibukota Majapahit, maka dapat disimpulkan bahwa batu-batu nisan itu menandai kuburan-kuburan orang jawa yang terhormat, bahkan ada kemungkinan anggota keluarga raja. Oleh karena itu, batu-batu jawa timur tersebut memberi kesan bahwa orang-orang anggota kaum elit jawa memeluk islam pada masa kerajaan majapahit yang beragama hindu budha sedang berada di puncak kejayaannya. Selain itu, batu-batu nisan tersebut merupakan bukti paling kuno yang masih ada tentang penduduk jawa yang beragama islam.
2. Masjid
Masjid di Jawa pada garis besarnya dapat dilihat dari corak arsitekturnya seperti beratap tumpang, berdenah persegi, berukuran relatif besar, terdiri atas ruang utama pawestren-serambi, mempunyai ruang mihrab, ada tempat mengambil air wudhu, ada kolam di depan serambi, dan mempunyai pagar keliling. Selain itu di dalam bangunan masjid terdapat beberapa kelengkapan tergantung pada jenis masjidnya, antara lain : mimbar, maqsuro, bedug, kentongan. Tentang menara, masjid kuno di jawa justru tidak memilikinya. Masjid-masjid di jawa tidak banyak mempunyai ornamentasi kecuali pada mimbarnya.
3. Ragam Hias
Dengan diterimanya agama islam sebagai penuntun hidup yang baru di Jawa, lahirlah beberapa ragam hias baru seperti kaligrafi dan setiliran. Prasasti berhuruf arab pada makam fatimah binti Maimun yang jauh lebih tua menampakan segi keindahannya, dan dapat digolongkan dalam huruf Arab gaya Kufi.
Selain munculnya ornamentasi dengan menggunakan huruf-huruf arab, muncul pula ragam hias baru, yaitu siliran atau penggayaan terhadap ragam hias binatang.
4. Tata Kota
Dalam masa islam di Jawa muncul kota-kota baru di wilayah pantai dan pedalaman seperti Demak, Cirebon, Banten, Pajang, dan Kota Gede. Dari data arkeologi yang terkumpul dapat diketahui komponen utama kota-kota tersebut yaitu keraton, alun-alun, masjid agung, pasar, pemukiman penduduk, pemakaman serta sarana pertahanan keamanan. Semuanya di atur dalam tata ruang tertentu yang secara garis besar menunjukan kesamaan.
D. Tokoh-Tokoh Pembawa Islam Di Jawa.
Kisah cempa berhubungan dengan orang-orang suci yang telah menyebarkan agama islam di Surabaya dan Gresik. Konon mereka berasal dari Cempa. Dalam sejarah dalem nama-nama mereka adalah Sayid Ngali Murtala dan Sayid Ngali Rahmad,dan kedua orang ini mempunyai saudara sepupu yang bernama Abu Hurairah. Istri kartawijaya Cempa yang bernama Ratu Darwati beragama islam mempunyai saudara yang bernama Raden Rahmat kemudian Raden Rahmat di ijinkan untuk mendirikan pesantren di desa Ampel. Kemudian dia dijuluki Sunan Ampel. Sunan Ampel mempunyai 4 putri yaitu Nyai Ageng Maloka, menjadi istri Raden Fatah, Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Masih Munat (Sunan Drajat) dan putrinya yang bernama Siti Khafsoh menjadi isteri Sunan Kalijaga. Ini hasil pernikahannya dengan putri Tuban, Nyai Ageng Manila, yang merupakan anak dari Arya Teja Bupati Tuban. Jadi penyebaran islam di jawa yang kemudian dapat mendirikan kerajaan Bintara adalah di pimpin oleh para bangsawan Tuban dan Ampel.
E. Saluran Islam Di Jawa.
1. Melalui Pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India
Ini menjadikan petinggi Majapahit, pemilik kapal, dan banyak bupati masuk islam. Namun karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang muslim dan perkembangan selanjutnya mereka mengambil perdagangan dan kekuasaan di tempat tinggalnya.
2. Saluran tasawuf
Tawasuf yang diajarkan mempunyai persamaan dengan aliran pikiran penduduk pribumi yang sebelumnya menganut agama hindu seperti yang dilakukan Sunan Bonang.
3. Saluran pendidikan
Ini dilakukan baik melalui pesantren maupun pondok yang diselenggarakan guru-guru agama dan ulama-ulama serta kyai-kyai.
4. Saluran politik
Di Jawa demi menambah orang-orang yang memeluk agama islam, banyak kerajaan islam yang memerangi kerajaan Hindu Budha seperti yang dilakukan kerajaan demak.
5. Saluran kesenian
Saluran yang paling terkenal adalah kesenian wayang. Sebagian di ambil dari Mahabarata dan Ramayana karena wayang sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan rakyat jawa. Karena didalamnya terdapat unsur hiburan dan tuntunan, dan ini juga diperlihatkan orang jawa meniati untuk menyediakan tempat khusus untuk pagelaran jawa.
6. Saluran pernikahan
Jika pedagang luar cukup lama tinggal di suatu temapt sering terjadi hubungan perkawinan antara orang asing yang dihormati serta berguna itu dengan puteri atau saudara perempuan setempat. Hukum perkawinan islam memungkinkan untuk itu.
F. Peran Walisongo Dalam Penyebaran Dan Perkembangan Islam Di Pulau Jawa
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) datang ke Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum beliau datang islam sudah ada walaupun sedikit ini dibuktikan dengan makam Fatimah binti Maemun yang nisannya bertuliskan tahun 1082 M.
Agama dan istiadat tidak langsung ditentangnya dengan frontal dan penuh kekerasan oleh agama islam. Beliau langsung memperkenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang diajarkan oleh agama islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri dalam bermasyarakat, tutur bahasanya sopan, lemah lembut, santun kepada fakir miskin, hormat kepada orang tua dan menyayangi yang muda. Dengan cara seperti ini ternyata sedikit demi sedikit banyak juga orang Jawa yang mulai tertarik pada agama islam dan pada akhirnya mereka menganut agama islam.
Beliau berdakwah di Gresik, dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat menyebarkan islam, beliau mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Raden rahmat ke tanah Jawa langsung ke Majapahit karena bibinya Dewi Dar Wati diperistri Raja Brawijaya, dan istri yang paling disukainya. Beliau berhenti di Tuban, di tempat itu beliau berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian bersama kedua orang bersama keluarganya masuk islam. Dengan adanya dua oran ini Raden Rahmat semakin mudah mengadakan pendekatan dengan masyarakat sekitarnya. Beliau menetap di Ampel Denta dan kemudian disebut Sunan Ampel. Selanjutnya beliau mendirikan pesant ren tempat putra bangsawanan dan pangeran Majaphit serta siapa saja yang mau berguru kepadanya. . Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Syekh Maulana Ishak (Sunan Giri)
Di awal abad ke-14 kerajaan Blambang sedang dilanda wabah penyakit, dan putri prabu juga terserang penyakit beberapa bulan. Banyak tabib yang mengobati tapi tidak juga sembuh.lalu prabu Menak mengutus patih Bajul Senggoro ke gunung Gresik.Patih Bajul dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak (Sunan Giri) yang sedang bertafakkur di sebuah gua. Setelah terjadi negosiasasi bahwa raja dan rakyat mau diajak masuk islam maka syeh Maulana Ishak bersedia datang ke Blambangan. Akhirnya puteri Dewi Sekardadu sembuh setelah di obati beliau dan wabah penyakit lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji sunan Giri dikawinkan dengan puteri dewi Sekardadu dan diberi kekuasaan sebagai Adipati Blambangan. Setelah banyak sekali orang yang berobat dan belajar agama islam, beliau pindah ke Singapura dan wafat dis
4. Sunan Bonang
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau putera Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.
Sekembali dari Persia untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak ke tanah Jawa, beliau berdakwah di daerah Tuban. Caranya berdakwah cukup unik dan bijaksana, beliau menciptakan gending dan tembang yang disukai rakyat. Dan beliau ahli dalam membunyikan gending yang disebut Bonang, sehingga rakyat Tuban dapat diambil hatinya untuk masuk masjid.
Beliau membunyikan bonang rakyat yang mendengar seperti terhipnotis terus melangkah ke masjid karena ingin mendengar langsung dari dekat. Dengan cara ini sedikit demi sedikit dapat merebut simpati rakyat, lalu baru menanamkan pengertian sebenarnya tentang islam. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
5. Sunan Drajat
Nama aslinya Raden Qasim, beliau adalah putera Sunan Ampel dari Dewi Candra Wati. Beliau berdakwah di daerah Drajad sehingga dikenal dengan nama Sunan Drajad. Cara menyebarkan agama islam dilakukan dengan cara menabuh seperangkat gamelan, gending dan tembang macapat setelah itu baru diberi ceramah islam. Dan beliau mendirikan pesantren untuk menyiarkan islam. Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah :
Menehono teken marang wong wuro (berilah tongkat pada si buta)
Menehono mangan marang wong kang luwe (beri makan pada yang
lapar)
Menehono busono marang wong kang mudo (beri pakaian pada yang telanjang)
Menehono nginyup marang wong kang kudanan (berilah pertolongan pada yang membutuhkan)
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak
yatim-piatu dan fakir miskin.
Beliau wafat pada tahun 1462 M, dan dimakamkan di desa Drajad Kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.
6. Sunan Kali Jaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau Putera Raden Sahur Putera Temanggung Wilatikta Adipati Tuban.
Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kepada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicambuk 100 kali sampai banyak mengeluarkan darah dan kemudian diusir.
Setelah itu beliau mengembara dan bertemu dengan Sunan Bonang, lalu Raden Sahid di angkat menjadi murid, lalu disuruhnya menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kali Jaga.
Beliau dikenal sebagai seorang yang dapat bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Beliau adalah mubaligh keliling. Dengan memanfaatkan kesenian rakyat yang ada beliau dapat mengumpulkan rakyat untuk kemudian diajak mengenal agama islam. Beliau adalah penabuh gamelan, dalang, menciptakan tembang yang ahli. Kesemuanya itu untuk kepentingan dakwah dan beliau tidak secara langsung menentang adat istiadat rakyat, agar mereka tidak lari dari Islam dan enggan mempelajari Islam. Diantara tembang yang dikarang oleh sunan Kali Jaga adalah Sluku-sluku Batok dan Ilir-ilir.
7. Sunan Kudus
Menurut salah satu sumber beliau adalah putera Raden Usman yang bergelar Sunan Ngudang dari Jipang Panolan. Nama aslinya Raden Ja’far Shadiq. Cara-cara berdakwah beliau adalah sebagai berikut :
a. Strategi pendekatan kepada massa dengan jalan :
1. Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah.
2. Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam.
3. Tut Wuri Handayani.
4. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
5. Merangkul masyarakat Budha, Setelah masjid, kemudian Sunan Kudus mendirikan padasan tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Di atas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang, hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha ”Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
6. Selamatan Mitoni
8. Sunan Muria
Beliau adalah putera dari Sunan Kali Jaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai keruh airnya. Itulah cara yang digunakannya di sekitar gunung Muria dalam menyebarkan agama islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom. Beliau banyak mengisi tradisi jawa dengan nuansa islami seperti nelung dino, mitung dino, nyatus dino dan sebagainya.
9. Sunan Gunung Jati
Orang sepakat bahwa penyebar agama Islam di Jawa Barat terutama Cirebon adalah Sunan Gunung Jati yang aslinya adalah Syarif Hidayatullah.
Di Makkah, Syarifah Mudain melahirkan anak pertamanya yaitu anak laki-laki yang kemudian diberi nama Syarif Hidayatullah.
Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 M. Dia berangkat ke tanah jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di Pasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayartullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dikawinkan dengan puteri cakara Buana Nyi Pakung Wati kemudian diangkat menjadi pangeran Cakra Buana pada tahun 1979 M. Dengan diangkatnya ia sebagai pangeran, dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.



IV. KESIMPULAN
Masuknya islam di Jawa dapat diketahui dengan beberapa bukti dalam bentuk artefak yaitu :

1. Makam,
2. Masjid,
3. Ragam Hias,
4. Tata Kota..

Saluran Islam Di Jawa yaitu meliputi :
1. Melalui Pedagang muslim dari Arab,Persia dan India
2. Saluran tasawuf
3. Saluran pendidikan
4. Saluran kesenian
5. Saluran pernikahan
6. Saluran politik.
Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di Pulau Jawa terdiri dari :

V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa

DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo Persada,1994.
Hasmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung, tanpa tahun.
R. Atmodarminto, Babad Demak, Tafsir Sosial Politik, Terj. Saudi, Berlian Milenium Publisher Jakarta, 2000.
Kartodirjo , Sartono dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Depdikbud, 1975.
Ricklefts, M.C, Sejarah Indonesia Modern.Terj. Drs. Darmono Hardjowijono, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, cet.3,1993.
Romli , Inajati, Islam dan Kebudayaan Jawa, suatu kajian Arkeologi, Makalah dari yayasan Javanologi, Yogyakarta tanpa tahun.
G.F Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900-1950, Tudjimah, Jakarta : UI Press, 1985.
Sujatmo, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Prize, 1989.
.Al Kutuby, Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa, jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003.

TAFSIR AL - ISYARI

by: Abdul Latief
I. PENDAHULUAN
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah Metode tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Dalam hal ini akan akan kami ketengahkan definisi tafsir AL-Isyari, syarat-syartanya, contoh-contohnya, beberapa perdebatan ulma’ tentang tafsir tersebut. Begitu juga Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Tafsir Al-Isyari?
B. Syarat-Syartanya Tafsir Al-Isyari?
C. Kitab-Kitab Tafsir Al-Isyari Yang Terpenting?
D. Beberapa Perdebatan Ulma’ Tentang Tafsir Al-Isyari?
E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Al-Isyari.
Di antara kelompok sufi (tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan dimana ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.
Untuk lebih jelas, dikutip beberapa pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :
Shubhi al-Shalih sebagaimana dikutip dalam buku Pengantar Ilmu al-Qur`an dan mendefinisikan Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi . Makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
Muhammad Aly Ash Shabuny dalam kitabnya Al-Tibyan fi Ulum al-Qur`an terj. Aminuddin mendefinisikan Tafsir al-Isyari sebagai: “Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”




B. Syarat-Syartanya Tafsir Al-Isyari.
Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar pada tiga hal pokok, yakni : Tafsirmengenai lafaz (Uraian Lafaz), yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama muta`akhkhirin (Ulama modern), tafsir tentang makna, yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan tafsir mengenai isyarat (Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain .
Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak bertentangan (ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur`an.
2. Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
4. Tidak mengandung penyelewengan- penyelewengan dari susunan kalimat lafadz-lafadz Al-qur’an.

C. Kitab-Kitab Tafsir Al-Isyari Yang Terpenting
Diantara kitab-kitab tafsir al-Isyari adalah :
• Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (283 H). Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.
• Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi. Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
• Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani). Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
• Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi. (238 H / 1240 M). Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
• Haqaiqut Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (412 H). Tafsir ini tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an, tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama tafsir.
• Tafsir al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi.(606 H). Tafsir ini seluruhnya dengan isyarah dan tidak ditampilkan tafsir menurut dhahir ayat, meskipun penafsir ini berkeyakinan bahwa dhamir ayat itu wajib dipergunakan terlebih dahulu. Kitab ini terdiri dari dua juz yang dihimpun menjadi satu jilid besar.
• Al-Ta`wilatun Najimiah, karya Najmuddin Dayah dan Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir ini disusun oleh Najmuddin Dayah dan ia meninggal sebelum tafsir itu selesai. Kemudian diteruskan oleh Alau al-Daulah al-Samnawi. Tafsir ini tertulis dalam lima julid besar. Jilid keempat berakhir pada ayat 17 dan 18 surat al-Zariyat dan itulah akhir penafsiran Najmuddin. Sedangkan Jilid kelimanya merupakan penyempurnaan tafsir ini.

D. Beberapa Perdebatan Ulma’ Tentang Tafsir Al-Isyari.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT. Itulah sebagian pendapat para ulama mengenai tafsir isyari serta mufassir-mufassirnya. Ucapan-ucapan para ulama itu menyatakan bahwa tafsir isyari hanya menyebutkan bandingan-bandingan dari apa yang dituturkan oleh Al-qur’an. Atau bahwa tafsir tersebut mengemukakan kelimpahan-kelimpahan ilahi, isyarat-isyarat dan makna-makna ilhamiyah yang datang kepada hati orang-orang arif tersebut, tapi mereka tidaklah mengingkari makna-makna lahir.

E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari.
1. Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari
Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
• Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara`
• Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadits.
• Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
• Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
• Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.

2. Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
• Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
• Tafsir Isyari yang telah kemasukan penakwilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
• Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.








IV. KESIMPULAN
Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah Metode tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Tafsir Isyari adalah tafsir yang mentakwilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi. Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.

V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa


















DAFTAR PUSTAKA
Amanah, St, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung; Angkasa, 2004).
Ash Shabuny, Muhammad Aly, Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Bandung Al- Ma’arif, 1987).
Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992).
Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta; PT Rineka Cipta, 1995).
Muhammad Aly Ash-shabuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999).
Muhammad basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-qur’an,( Bandung, Pustaka, 1987).
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/kajian-tafsir-al-quran.html didonwload tgl 20-10-2010

PERKEMBANGAN FIQH MODERN


I.       PENDAHULUAN
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah Metode tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Dalam hal ini akan akan kami ketengahkan definisi tafsir AL-Isyari, syarat-syartanya, contoh-contohnya, beberapa perdebatan ulma’ tentang tafsir tersebut. Begitu juga Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Tafsir Al-Isyari?
B.     Syarat-Syartanya Tafsir Al-Isyari?
C.    Kitab-Kitab Tafsir Al-Isyari Yang Terpenting?
D.    Beberapa Perdebatan Ulma’ Tentang Tafsir Al-Isyari?
E.     Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari?


III.  PEMBAHASAN
A.     Pengertian Tafsir Al-Isyari.
Di antara kelompok sufi (tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan dimana ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.
Untuk lebih jelas, dikutip beberapa pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :
Shubhi al-Shalih sebagaimana dikutip dalam buku Pengantar Ilmu al-Qur`an dan mendefinisikan Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi[1]. Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
Muhammad Aly Ash Shabuny dalam kitabnya Al-Tibyan fi Ulum al-Qur`an terj. Aminuddin mendefinisikan Tafsir al-Isyari sebagai: “Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”[2]


B.     Syarat-Syartanya Tafsir Al-Isyari.
Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar pada tiga hal pokok, yakni : Tafsirmengenai lafaz (Uraian Lafaz), yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama muta`akhkhirin (Ulama modern), tafsir tentang makna, yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan tafsir mengenai isyarat (Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain.
Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut [3]:
1.  Tidak bertentangan (ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur`an.
2.  Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
3.  Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
4.  Tidak mengandung penyelewengan- penyelewengan dari susunan kalimat lafadz-lafadz Al-qur’an.

C.    Kitab-Kitab Tafsir Al-Isyari Yang Terpenting
Diantara kitab-kitab tafsir al-Isyari adalah [4]:
·     Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (283 H). Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.
·     Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi. Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
·     Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani). Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
·     Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi. (238 H / 1240 M). Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
·     Haqaiqut Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (412 H). Tafsir ini tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an, tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama tafsir.
·     Tafsir al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi.(606 H). Tafsir ini seluruhnya dengan isyarah dan tidak ditampilkan tafsir menurut dhahir ayat, meskipun penafsir ini berkeyakinan bahwa dhamir ayat itu wajib dipergunakan terlebih dahulu. Kitab ini terdiri dari dua juz yang dihimpun menjadi satu jilid besar.
·     Al-Ta`wilatun Najimiah, karya Najmuddin Dayah dan Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir ini disusun oleh Najmuddin Dayah dan ia meninggal sebelum tafsir itu selesai. Kemudian diteruskan oleh Alau al-Daulah al-Samnawi. Tafsir ini tertulis dalam lima julid besar. Jilid keempat berakhir pada ayat 17 dan 18 surat al-Zariyat dan itulah akhir penafsiran Najmuddin. Sedangkan Jilid kelimanya merupakan penyempurnaan tafsir ini.

D.    Beberapa Perdebatan Ulma’ Tentang Tafsir Al-Isyari.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.[5] Itulah sebagian pendapat para ulama mengenai tafsir isyari serta mufassir-mufassirnya. Ucapan-ucapan para ulama itu menyatakan bahwa tafsir isyari hanya menyebutkan bandingan-bandingan dari apa yang dituturkan oleh Al-qur’an. Atau bahwa tafsir tersebut mengemukakan kelimpahan-kelimpahan ilahi, isyarat-isyarat dan makna-makna ilhamiyah yang datang kepada hati orang-orang arif tersebut, tapi mereka tidaklah mengingkari makna-makna lahir.[6]

E.     Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari.
2.  Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari
Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu [7]:
·     Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara`
·     Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadits.
·     Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
·     Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
·     Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.
3.  Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
·     Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
·     Tafsir Isyari yang telah kemasukan penakwilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
·     Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.












IV. KESIMPULAN
Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah Metode tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Tafsir Isyari adalah tafsir yang mentakwilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi. Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
V.    PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa


















DAFTAR PUSTAKA
Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992) hlm. 489
Mashuri Sirojuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung; Angkasa, 2004).
Muhammad Aly Ash-shabuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999).
Muhammad basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-qur’an,( Bandung, Pustaka, 1987).







[1] Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992) hlm. 489
[2] Muhammad Aly Ash-shabuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999).
[3] Muhammad basuni Fawdah, Tafsir-Tafsir Al-qur’an, Bandung, Pustaka, 1987.
[6] Muhammad basuni Fawdah, Op. Cit, hlm 254
[7] Mashuri Sirojuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung; Angkasa, 2004.